(tentang Nilai-Nilai Keagamaan dan Tantangan Jaman)
Didalam
kehidupan masyarakat Bali terdapat beberapa kearifan lokal yang telah dijadikan
pedoman oleh masyarakat sejak dahulu dalam menjaga keharmonisannya menghadapi
tantangan hidup,yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhannya (Parahyangan),
hubungan harmonis antara sesamamanusia (pawongan), dan hubungan harmonis antara
manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Ketiga kearifan lokal diatas
dapat dicoba dipahami dan dimengerti untuk kemudian bisa diterapkan dengan
baik, niscaya kerukunan dapat teratur dan semangat multikulturalisme dalam
masyarakat heterogen seperti di Bali ini akan dapat terealisasi dengan baik
pula, hidup damai pun seolah menjadi satu dengan masyarakat Bali.
Tantangan
masyarakat bali saat ini tidak hanya dalam segi kehidupan yang multikultural,
melainkan dengan pendidikan masyarakat Bali yang memperindah kebudayaan
masyarakat tapi juga terkandang juga membuat benturan antara rasionalitas
dengan kebudayaan masyarakat yang dirasa sangat merugikan dan disayangkan
terjadi. Fluktuasi perekonomian di Bali sangat menentukan gaya hidup masyarakat
bali. Perekonomian yang belum merata tidak jarang menimbulkan kesenjangan
sosial, dan pandangan masyarakat bali akan materi sangat diagung-agungkan
seperti yang dibicarakan rektor IHDN lalu. Masyarakat Bali yang pragmatis
banyak digambarkan dengan cerita Rektor IHDN bahwasanya anak muda bali sekarang
ini banyak yang pergi keluar negri untuk mencari pipis (uang dalam bahasa Bali)
hal ini memungkinkan hilangnya nilai
kolektivitas dan inovasi-inovasi terbaru
dari masyarakat Bali dan pemudanya terutama.
Diskriminasi
dan merasa paling unggul diantara umat beragama lainnya, hal ini mungkin
boleh-boleh saja, tapi alangkah bijaknya jika masyarakat Bali juga melihat
dunia luar agar tidak terkungkung dan pengetahuan yang itu-itu saja tentang
masyarakat diluar Bali, Adat dan Agama di Bali sangat erat kaitannya seolah tak
bisa dipisahkan mungkin inilah kelebihan daripada masyarakat Bali
mempertahankan kejayaanya sebagai penganut Hindu ditengah modernitas jaman.
Ada
suatu selogan yang mungkin suatu kearifan lokal yang penulis dapat ketika
berbincang denagn masyarakat bali ‘sagalak
sagilik saguluk salunglung sabayantaka’ yang artinya kurang lebih dengan
semangat tekad bulat menghadapi kondisi baik atau buruk, dan juga ‘menyama
braya’ yang artinya memandang setiap seperti saudara, dua selogan
masyarakat Bali ini saja sudah menunjukkan bahwasanya masyarkat Bali senang
akan kerukunan dan kedamaian, suatu selogan yang juga menjadi pengingat
masyarakat jika terjadi konflik suku maupun agama di Bali.
Nilai-Nilai
keagamaan dalam masyarakat Bali benar-benar terrenungi dalam setiap bhakti
masyarakat di kehidupannya, adat menjadi pengikat masyarakat akan nilai-nilai
atau norma-norma yang dianut masyarakat Bali, tidak salah jika muncul anggapan
bukan Bali jika tidak Hindu, ini mencerminkan betapa kuat pondasi iman yang
dibangun masyarakat terhadap perkembangan globalisasi dan terpaan modernitas
dunia barat yang hampir menyeluruh di kawasan-kawasan pariwisata Bali.
Jika
kembali ke awal akan pemahaman masyarakat Bali tentang nilai-nilai keagamaan
dan tantangannya ditengah dinamika jaman, maka terjawab oleh keidupan
masyarakat Bali yang religius ditengah ruang
yang juga bersanding dengan lawan dari
Nilai kemasyarakatan yang tenang, yakni keheterogenan umat beragama,
westernisasi yang terlihat glamour dan sangat tidak mencerminkan budaya
masyarakat Bali.
Dalam
perkembangannya saat ini tidak sedikit juga masyarakat Bali yang keluar daerah,
untuk menimba Ilmu, berproses lebih jauh dalam sosial kemasyrakatan, banyak
juga catatan untuk masyarakat Bali yang harus diperhatikan, mengenai kepragmatisan
masyrakat yang dirasa sdikit demi sedikit ,lama kelamaan akan menyisihkan
kebudayaan setempat, dan juga toleransi antar umat beragama seperti selogan
menyama braya harus benar-benar diterapkan agar Bali menjadi Kota pariwisata
kondusif dan juga toleran.
M.ikhsan
Alkhariri
11/313693/fi/03571
11/313693/fi/03571
Tidak ada komentar:
Posting Komentar