Selasa, 22 Januari 2013

Epistemologi Immanuel Kant



Epistemologi Immanuel Kant

Secara etimologis, epistemology berasal dari bahasa Yunani,yaitu episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang biasa dipakai untuk menunjukan pengetahuan yang sistematik (Imam, 2007 : 1). Jadi epistemology dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistematik tentang pengetahuan.Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. (Hardono, 1994 : 5)

Epistemologi menjangkau permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatupun yang boleh disingkirkan darinya.Epistemologi membahas seputar hakikat pengetahuan.Filsafat pengetahuan ini juga sering disebut sebagai logika material yang mempelajari hal pengetahuan, kebenaran dan kepastian (Imam, 2007 : 3)

A.    BIOGRAFI IMMANUEL KANT

Immanuel Kant lahir di Königsberg di Prusia  (sekarang Kaliningrad di Rusia) tahun 1724. Ia belajar kurang-lebih semua mata pelajaran, dan menjadi dosen untuk ilmu pasti, ilmu alam, hukum, teologi, filsafat, dan masih banyak bidang lain. Hidup Kant sangat teratur, setiap hari mempunyai acara yang sama. Dia tidak pernah keluar dari kota kelahirannya, dan walaupun kant sangat lemah dan kecil, produktivitasnya sangat besar. Kant memulai suatu  “filsafat kritis” yang dimana dipersatukannya antara rasionalisme danempirisme dalam satu sintesis. (Hamersma,1983:26&27).

Kant menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika di Königsberg.Hidupnya terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia menerima jabatan guru besar.  Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepasti memiliki pengertian tentang hakekatnya sendiri, luasdan batas kemampuannya. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis.Dogmatisme menganggap penggenalan objektif sebagai hal yang sudah dengan sendirinya.Sikap demikian, menurut Kant, adalah salah.orang harus bertanya: “Bagaimana pengenalan objektif itu mungkin?” oleh karena itu penting sekalimenjawab pertanyaan yang mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu. (Hadiwijono,1980:64).

Filsafat Kant kemudian menjadi titik pangkal bagi suatu periode baru yang disebut dengan “Idealisme”. Kant yang tidak pernah keluar dari kota kelahirannya itu ternyata mampu mempengaruhi dunia, khusus nya dunia filsafat. Produktivitasnya sangat besar, hingga akhir hayat menjemput Kant di tahun 1804.

--

Sumber Pengetahuan Menurut Immanuel Kant

      Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia yang diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.

    Kant menganggap kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita lihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Untuk pengenalan, Kant berargumen bahwa obyek mengarahkan diri ke subyek. Tidak seperti filsuf sebelumnya yang mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek.

    Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak yakni bagian penerimaan kesan-kesan inderawi (sensibility) dan bagian pemahaman  yang membuat keputusan-keputusan tentang kesan-kesan inderawi yang diperoleh melalui fakultas pertama.

Kedua bagian  saling membutuhkan dalam rangka mencapai suatu pengetahuan. bagian penerimaan bertugas menerima kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan a apriori intuisi ruang dan waktu. bagian pemahaman bertugas memasak yaitu menyatukan dan mensintesakan pengalaman-pengalaman yang telah diterima dan ditata oleh fakultas penerima selanjutnya diputuskan.

Dalam bekerja, bagian pemahaman memiliki sarana yang disebut kategori terdiri dari 12 item menjadi syarat apriori.  Kedua belas kategori ini adalah  kuantitas (universal, particular, singular), kualitas (affirmative, negative, infinitive), relasi (categorical, hypothetical, disjunctive) dan modalitas (problematical, assertorical, apotidical).

Menurut Kant meskipun seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, namun ide dan konsep hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep serta kebenaran tidak akan pernah bisa diaplikasikan. Akal budi manusia hanya bisa berfungsi bila dihubungkan dengan pengalaman. Oleh karena itu akal budi dan pengalaman inderawi, tidak dapat dianggap sebagai dasar menyatakan keberadaan Tuhan. Bagi Kant, eksistensi Tuhan diperlukan sebagai postulat bagi kehidupan moralitas. Pembahasan epistemologi Kant dikaitkan dengan dua karyanya Kritik atas Rasio Murni dan Kritik Rasio Praktis.

      Dalam “Kritik atas Rasio Murni”  Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan  bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk  itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama,keputusan analitis apriori yang menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).

Kedua, keputusan sintesis aposteriori dengan predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya meja itu bagus.

Ketiga, keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun  atas putusan sintesis bersifat apriori. Kant menyebut keputusan jenis ketiga sebagai syarat dasar sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.

Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap.Pertama, pencerapan inderawi (sinneswahrnehmung). Kedua, akal budi (verstand). Ketiga, intelektual atau rasio (versnunft). Pencerapan inderawi masuk dalam estetika transendental, akal budi ada pada bagian analitikal transendental, rasio masuk dalam dialektika transendental.

Dalam dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).

Meskipun ketiga ide di atas mengatur argumentasi tentang pengalaman, tetapi ketiga ide itu tidak termasuk pengalaman karena ke-12 kategori tidak dapat diberlakukan pada ide transendental ini disebabkan ketiganya bukan obyek pengalaman.

Pengalaman hanya terjadi dalam fenomena, padahal ketiga ide itu berada di dunia nomena, yang tidak tampak. Ide tentang jiwa, dunia, dan Tuhan bukan pengertian tentang kenyataan inderawi, bukan benda pada dirinya sendiri (das ding an sich).Ketiganya merupakan postulat epistemologi yang berada di luar teoritis empiris.

--

KebenaranPengetahuanMenurut Kant:

Teori Kebenaran Pengetahuan yang dianut oleh Kant ialah Koherensi, yaitu kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis dianggap benar jika proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Pengertian lainnya suatu proposisi bernilai benar bila proposisi itu bersesuaian dengan ide-ide atau gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati; (2) Sokrates adalah manusia; (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu (1) Semua manusia pasti mati, dan (2) Sokrates adalah manusia.Dalam arti ini, kebenaran (3) sesungguhnya sudah terkandung dalam kebenaran (1).Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyataannya Sokrates mati atau tidak.

Dari uraian di atas bisa dilihat dengan jelas bahwa, pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Dalam hal ini berarti, pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekwensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Konsekwensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan secara a priori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada.

Kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran koherensi ini penting,  dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran korespondensi dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mencek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara a priori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.

Sebagai perbandingan, kita dapat membuat perbedaan antara kebenaran empiris dan kebenaran logis sebagai berikut:

Kebenaran Empiris:

1) mementingkan objek

2) menghargai cara kerja induktif dan a posteriori

3) lebih mengutamakan pengamatan indera.

Kebenaran Logis:

1) mementingkan subjek

2) menghargai cara kerja deduktif dan a priori

3) lebih mengutamakan penalaran akalbudi.

Namun meskipun tergolong dalam penganut teori Koherensi, pentingnya kedua kebenaran ini sangat ditekankan oleh Immanuel kant. Bagi Kant, baik akalbudi maupun panca indera mempunyai peran penting untuk melahirkan pengetahuan manusia. Karena syarat mutlak bagi adanya pengetahuan adalah kebenaran, Kant pun sangat menekankan baik kebenaran logis yang diperoleh melalui penalaran akalbudi, maupun kebenaran empiris yang diperoleh dengan bantuan panca indera yang menyodorkan data-data tertentu. Pentingnya kedua kebenaran ini secara saling menunjang terutama agar kita tidak terjebak pada silogisme dan retorika kosong.

--

Kelebihan pemikiran Kant dalam epistemology ialah menggabungkan antar empirisme dan rasionalisme. Menurut Kant meskipun seluruh ide dan konsep manusia bersifat a priori sehingga ada kebenaran a priori, namun ide dan konsep hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur a posteriori. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep serta kebenaran tidak akan pernah bisa diaplikasikan. Akal budi manusia hanya bisa berfungsi bila dihubungkan dengan pengalaman.

Kant setuju dengan rasionalisme bahwa pengetahuan semacam itu ada pada fisika dan matematika.Ia setuju dengan empirisme bahwa pengetahuan yang ideal adalah pengetahuan tentang fenomena, pengetahuan yang muncul di depan indera kita dan bukannya pengetahuan tentang hakikat. Dengan demikian suatu metafisika rasional (kosmologi, teologi, psikologi) adalah tidak mungkin. ( Mudhofir, 2001 : 274)

Selain menggabungkan empirisme dan rasionalisme, Kant juga memisahkan antara pengenalan murni dan yang tidak murni, yang tidak ada kepastiannya. Filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan. (Hadiwijono, 1980 : 64)

-Mudhofir, Ali; 2001, KamusFilsuf Barat: PustakaPelajar, Yogyakarta.-

-Hadiwijono,Harun; 1980, Sari SejarahFilsafat Barat 2: Kanisius, Yogyakarta.-

M.Ikhsan Alkhariri (11/313693/FI/03571)

Rabu, 09 Januari 2013

Masyarakat Bali

  (tentang Nilai-Nilai Keagamaan dan Tantangan Jaman)


Didalam kehidupan masyarakat Bali terdapat beberapa kearifan lokal yang telah dijadikan pedoman oleh masyarakat sejak dahulu dalam menjaga keharmonisannya menghadapi tantangan hidup,yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhannya (Parahyangan), hubungan harmonis antara sesamamanusia (pawongan), dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Ketiga kearifan lokal diatas dapat dicoba dipahami dan dimengerti untuk kemudian bisa diterapkan dengan baik, niscaya kerukunan dapat teratur dan semangat multikulturalisme dalam masyarakat heterogen seperti di Bali ini akan dapat terealisasi dengan baik pula, hidup damai pun seolah menjadi satu dengan masyarakat Bali.
Tantangan masyarakat bali saat ini tidak hanya dalam segi kehidupan yang multikultural, melainkan dengan pendidikan masyarakat Bali yang memperindah kebudayaan masyarakat tapi juga terkandang juga membuat benturan antara rasionalitas dengan kebudayaan masyarakat yang dirasa sangat merugikan dan disayangkan terjadi. Fluktuasi perekonomian di Bali sangat menentukan gaya hidup masyarakat bali. Perekonomian yang belum merata tidak jarang menimbulkan kesenjangan sosial, dan pandangan masyarakat bali akan materi sangat diagung-agungkan seperti yang dibicarakan rektor IHDN lalu. Masyarakat Bali yang pragmatis banyak digambarkan dengan cerita Rektor IHDN bahwasanya anak muda bali sekarang ini banyak yang pergi keluar negri untuk mencari pipis (uang dalam bahasa Bali) hal ini memungkinkan hilangnya  nilai kolektivitas dan inovasi-inovasi  terbaru dari masyarakat Bali dan pemudanya terutama.
Diskriminasi dan merasa paling unggul diantara umat beragama lainnya, hal ini mungkin boleh-boleh saja, tapi alangkah bijaknya jika masyarakat Bali juga melihat dunia luar agar tidak terkungkung dan pengetahuan yang itu-itu saja tentang masyarakat diluar Bali, Adat dan Agama di Bali sangat erat kaitannya seolah tak bisa dipisahkan mungkin inilah kelebihan daripada masyarakat Bali mempertahankan kejayaanya sebagai penganut Hindu ditengah modernitas jaman.
Ada suatu selogan yang mungkin suatu kearifan lokal yang penulis dapat ketika berbincang denagn masyarakat bali ‘sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka’ yang artinya kurang lebih dengan semangat tekad bulat menghadapi kondisi baik atau buruk,  dan juga ‘menyama braya’ yang artinya memandang setiap seperti saudara, dua selogan masyarakat Bali ini saja sudah menunjukkan bahwasanya masyarkat Bali senang akan kerukunan dan kedamaian, suatu selogan yang juga menjadi pengingat masyarakat jika terjadi konflik suku maupun agama di Bali.
Nilai-Nilai keagamaan dalam masyarakat Bali benar-benar terrenungi dalam setiap bhakti masyarakat di kehidupannya, adat menjadi pengikat masyarakat akan nilai-nilai atau norma-norma yang dianut masyarakat Bali, tidak salah jika muncul anggapan bukan Bali jika tidak Hindu, ini mencerminkan betapa kuat pondasi iman yang dibangun masyarakat terhadap perkembangan globalisasi dan terpaan modernitas dunia barat yang hampir menyeluruh di kawasan-kawasan pariwisata Bali.
Jika kembali ke awal akan pemahaman masyarakat Bali tentang nilai-nilai keagamaan dan tantangannya ditengah dinamika jaman, maka terjawab oleh keidupan masyarakat  Bali yang religius ditengah ruang yang  juga bersanding dengan lawan dari Nilai kemasyarakatan yang tenang, yakni keheterogenan umat beragama, westernisasi yang terlihat glamour dan sangat tidak mencerminkan budaya masyarakat Bali.
Dalam perkembangannya saat ini tidak sedikit juga masyarakat Bali yang keluar daerah, untuk menimba Ilmu, berproses lebih jauh dalam sosial kemasyrakatan, banyak juga catatan untuk masyarakat Bali yang harus diperhatikan, mengenai kepragmatisan masyrakat yang dirasa sdikit demi sedikit ,lama kelamaan akan menyisihkan kebudayaan setempat, dan juga toleransi antar umat beragama seperti selogan menyama braya harus benar-benar diterapkan agar Bali menjadi Kota pariwisata kondusif dan juga toleran.


M.ikhsan Alkhariri
11/313693/fi/03571